IRNA (7) adalah gadis kecil yang berparas ayu, selalu mendapat ranking satu di kelasnya dan dari keluarga berada. Tiap kali ada kegiatan di sekolah pasti dia terpilih menjadi “duta” sekolah. Sampai-sampai semua temannya “berebut” menjadi sahabatnya. Dialah “si populer” sekolah.
Biarpun dia menjadi “pujaan” di sekolah, tetaplah menjaga “kepopuleran” si kecil dengan bijak!
Populer di mata anak
Menurut Ristriarie Kusumaningrum MPsi yang dimaksud “populer” di mata anak adalah cantik atau ganteng, ramah, tidak pelit, pandai akademis, bakat menonjol dan mendapat penghargaan dari kejuaraan, berasal dari keluarga kaya, atau anak yang orangtuanya terpandang. Biasanya anak yang “menonjol” dari sisi fisik atau non-fisik akan mendapat perlakuan istimewa dari pihak sosial, teman sebaya dan akademis.
“Tentu saja, hal ini membuat anak yang lain ingin mendapat perlakuan sama. Sehingga, mereka berusaha melakukan, mendekati, bahkan meniru gaya anak populer,” imbuhnya.
Menjadi Sorotan
Lanjut psikolog yang berpraktik di Sekolah Cikal ini menegaskan, sebenarnya popularitas itu dibentuk oleh lingkungan terdekatnya, yakni keluarga, utamanya orangtua. Awalnya, anak populer ini kaget dengan ketenarannya, kemudian dia mulai menyukai bentuk perhatian yang diberikan dari sekitarnya.
Ketika anak menjadi “populer”, salah satu risiko yang diterimanya ialah sorotan. Hal inilah yang membentuk tuntutan dari pihak sosial agar anak berperilaku positif dan berprestasi.
“Nah bila kontrol keluarga kurang, anak akan berusaha tampil ‘sempurna’ dengan menghalalkan segala cara agar dia tidak kehilangan perhatian atau sorotan dari lingkungan. Anak pun akan merasa tinggi hati dan memilih teman yang dianggap ‘pantas’ berteman dengan dirinya. Sebaliknya, jika kontrol orangtua tepat dan tetap memperlakukan sang buah hati dengan sewajarnya, tentu dia bisa menjaga dirnya tetap rendah hati dan tidak menganggap remeh orang lain,” saran alumnus Magister Pofesi Pikologi Klinis Anak, Fakultas Psikologi-Universitas Indonesia ini.
Cara si populer menanggapi sekitarnya
Ternyata, anak “populer” mendapat tanggapan yang beragam dari teman-temannya. Ada yang positif, menirunya misalnya. Dan “si populer” merasa senang dan tidak masalah jika gayanya diikuti. Tapi ada pula anak populer yang tidak suka ditiru, karena dia berpikir hanya dirinya yang harus mendapat perhatian utama. Dia mengganggap yang menirunya itu sebagai saingan.
Ada pula yang mendapat tanggapan sinis, membenci misalnya. Jika “si populer” memiliki karakter yang kuat dan positif, dia akan bersikap tenang dan mencari penyebab mengapa teman-teman membencinya, dan berusaha merangkul kembali teman-temannya. Sebaliknya, ada juga anak populer yang menganggap mereka yang membencinya hanya iri hati karena melihat kepopuleran yang diraihnya. Bahkan yang lebih ekstrem, “anak populer” itu akan membuat teman yang dianggap iri itu dibenci juga oleh teman-temannya yang lain. Tentu saja hal ini sikap yang tidak baik.
“Idealnya, anak populer itu memanfaatkan kelebihan yang dia miliki untuk kebaikannya orang lain,” ujar psikolog yang berpraktik juga di Biro Konsultan Family Discovery, Kelapa Gading.
So, jangan sampai si kecil menjadi anak populer yang tinggi hati, ya Moms!
(Mom& Kiddie//tty)